Total Tayangan Halaman

Minggu, 22 November 2015

Rejeki tidak hanya soal uang, karena teman yang baik juga rejeki dari Tuhan

Teman ? 
Teman adalah satu kata penuh makna, bagi saya mereka bukan hanya sekedar teman biasa. Mereka bisa menjadi sahabat, saudara, bahkan keluarga. Saya cukup mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, suka bergaul dan selalu tertantang untuk mencoba hal baru membuat saya mengenal banyak orang dari berbagai jenjang usia, pendidikan dan lingkungan kerja. Jangan heran, orang yang baru saya temui di jalan pun bisa jadi teman saya dengan intensitas komunikasi dan silaturahmi yang sangat baik untuk waktu yang lama sampai sekarang.
Teman ?
Bagi saya, teman bisa siapa saja tapi teman dekat atau sahabat hanya beberapa. Orang bilang persahabatan yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun adalah persahabatan yang akan berlangsung selamanya, yaa saya percaya.
Di setiap jenjang peralihan usia, saya punya beberapa sahabat bahkan agar terlihat kompak kami beri nama persahabatan ini dengan nama panggilan tertentu atau bisa dibilang kelompok ini menjadikan kami sebagai sebuah "gank". Banyak dari kami adalah satu sama lain yang berbeda latar belakang, hobi, watak dan sifat tapi tetap bersama hingga detik ini karena bagaimanapun juga yang sama hanya sekedar menambahi tapi yang beda bisa melengkapi.
Gank pertama saya yang tak pernah lekang oleh waktu, dimulai dari kehidupan anak SMA 12 tahun lalu. Sampai sekarang kami tak pernah memiliki sebutan khusus untuk kelompok ini tapi yang jelas kami selalu bersama, berbagi suka dan duka. Mereka sudah lebih dekat dari sahabat, sudah seperti kakak perempuan bagi saya bahkan bukan hanya kami pribadi tapi keluarga kami juga sudah saling mengenal satu sama lain hingga akhirnya ketika berkunjung ke rumah masing-masing benar-benar terasa seperti di rumah sendiri. Dengan mereka saya bercerita banyak hal, melewati berbagai macam peristiwa, saling menguatkan dan saling mengingatkan. Sudah seperti saudara walau tak sedarah. Bisa dibilang mereka adalah saksi hidup lika liku perjalanan saya selama 12 tahun ini dan tahun-tahun mendatang karena hingga saat ini masih sering berkomunikasi, bertemu dan berlibur bersama.




Gank berikutnya, saya dapatkan ketika saya mulai memasuki bangku kuliah. Masih teringat jelas hari pertama memasuki ruang kelas, 5 gadis yang saya temui adalah mahasiswi pertama yang saya kenal dan mengajak saya duduk berurutan di samping mereka hingga akhirnya setiap saat menghabiskan waktu bersama. Selang beberapa waktu kami berlima mulai akrab dengan seorang mahasiswa yang paling pintar di kelas. Mahasiswa ini sering memanggil kami dengan sebutan "ladies" karena pada saat itu sedang eksis sebuah reality show "deal or no deal" dimana ada beberapa wanita yang membawa koper berisi pilihan jawaban dan para wanita itu dipimpin oleh seorang laki-laki. Yaa sejak itu, kami menyebutkan diri sebagai ladies. Bukan hanya teman satu kelas dan satu angkatan tapi nama kami sebagai ladies juga dikenal oleh berbagai angkatan baik di atas atau di bawah kami. Banyak cerita yang dilewati bersama ladies, mulai dari cerita cinta, keluarga sampai perdebatan diantara kami saat itu. Sampai saat ini, persahabatan ladies masih tetap berlangsung. Karena hanya 3 orang diantara kami asli Purwokerto dan lainnya berasal dari luar kota, beberapa kali kami meluangkan waktu berkumpul dan bersama walaupun tidak selalu lengkap bertemu di saat yang sama karena kesibukan masing-masing dan beberapa dari kami sudah berkeluarga.



Berikutnya, persahabatan yang bermula dari ketidaksengajaan. Juli 2009, kami dipertemukan dalam sebuah tugas, tugas yang mengharuskan kami mengambilnya sebagai salah satu syarat kelulusan. Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang pada saat itu sedang berlangsung program PBA (Pemberantasan Buta Aksara). Kami mendapat tugas untuk melaksanakan KKN di sebuah desa di Purbalingga, desa Selakambang. Berawal dari 32 orang yang disatukan dalam sebuah rumah (posko) karena kebetulan kami meminta dijadikan satu tempat tinggal baik laki-laki dan perempuan kepada Kepala Desa setempat. Kebetulan ada 1 rumah kosong yang belum selesai dibangun dan tidak dihuni, jadilah kami tinggal di sana bersama-bersama selama 40 hari. Awalnya komunitas ini bernama PONSEL (Posko Nang Selakambang) namun karena satu kelompok diisi dengan banyak kepala memang membuat kami terpecah secara emosional dan kedekatan walaupun kami tetap melaksanakan tugas yang sudah ditentukan. Banyak cerita luar biasa selama 40 hari kami tinggal bersama dan saya rasa ini tidak akan pernah terlupa sepanjang masa. Selepas KKN, kami yang merasa sudah cocok dan saling mengenal karakter masing-masing mulai membentuk kelompok khusus dimana kami selalu menghabiskan waktu bersama. Di saat yang lain sudah tak lagi mengenal teman KKN-nya, kami justru semakin dekat dan akrab hingga akhirnya satu persatu menyelesaikan studi dan kembali ke kota masing-masing. Hanya tersisa 6 orang dari kami di Purwokerto, bukannya semakin memudar,persahabatan kami justru semakin mengental. Semakin sering membunuh waktu bersama mulailah kami memberi nama pada kelompok ini dengan "waguers". Cerita waguers bermula dari saya yang merasa kesal dengan 5 orang lainnya pada saat itu dan menyebut mereka "wagu" istilah banyumas untuk kata "jayus" atau "garing". Mulai sejak saat itu karena banyak sifat 'wagu' dan kejadian 'aneh' yang menimpa kami, kami menyebut diri kami sebagai "waguers" atau orang-orang wagu :D.



Entah saling mengenal dan bersama sudah 12 tahun, 9 tahun atau 6 tahun, bagi saya mereka adalah sosok yang sangat luar biasa. Mereka yang mungkin lebih tahu lika liku kehidupan saya daripada keluarga saya sendiri. Mereka yang mungkin lebih mengerti dan lebih memahami saya daripada keluarga saya sendiri. Dan mereka yang mungkin selalu bisa menghibur dan menyemangati saya daripada keluarga saya sendiri. Mereka adalah keluarga kedua, ketiga dan keempat saya. Bagian dari hidup saya yang sangat berharga. Walaupun terkadang diantara kami ada masalah dan perselisihan, walaupun kami tak bisa selalu bertemu dan bersama. Tapi saya besyukur dengan kehadiran mereka di hidup saya, karena mereka salah satu rejeki dari Tuhan untuk saya.

Terima kasih teman-teman ^^

Senin, 16 November 2015

Bromo Midnight

Kali ini menyeberang provinsi ke arah timur, yaa menuju Probolinggo, Jawa Timur.
Minggu pagi melangkahkan kaki ke stasiun kereta api, transportasi murah meriah yang nyaman dengan pelayanan memuaskan (transportasi primadona saya). Dari purwokerto menaiki KA Logawa dengan tujuan Surabaya pukul 06.00 WIB. Pukul 15.45 kami sampai di Staisun Gubeng disambut dengan rintik hujan, untungnya kendaraan jemputan kami sudah menunggu dengan setia di halaman parkir jadi kami tak perlu menunggu lama lagi.
Berhubung waktu masih panjang kami sengaja mampir ke wilayah perbatasan Jawa-Madura. Tentu saja, itu berarti tujuan kami selanjutnya adalah Jembatan Suramadu. Jembatan sepanjang 5.438 m ini membentang di atas Selat Madura yang menghubungkan pulau Jawa dan Pulau Madura. Setelah melintasi jembatan, kami sengaja istirahat sejenak di kawasan yang sudah masuk Pulau Madura, sekedar untuk melepas lelah, menunaikan ibadah sholat dan menikmati pemandangan sekitar.
Selepas sholat maghrib kami kembali beranjak melintasi jembatan ini kembali, dan saya rasa waktu paling tepat untuk menikmati keindahan dan kemegahan jembatan ini memang saat malam hari dimana lampu penghias jembatan Suramadu mulai menyala dan mempesona.
Jembatan Suramadu di malam hari

Begitu sampai di Surabaya, kami segera melanjutkan perjalanan ke Probolinggo.. tujuan utama kami menempuh perjalanan panjang ini. Dengan waktu yang cukup lama tak terasa pukul 23.00 WIB kami sampai di tempat transit kami sebelum petualangan dimulai, Hotel Sukapura Permai. Udara di malam hari memang sangat dingin, masih belum terbayang apa yang akan terjadi di pagi buta jika saya hanya memakai jaket, kaos kaki dan sarung tangan biasa. Untungnya  di hotel ini juga menjual aksesoris, oleh-oleh dan segala kebutuhan mendaki yang memang saya perlukan dan ternayata harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan yang dijual pedagang asongan di halaman depan hotel ini. Untuk sepasang topi kupluk dan syal rajut tebal hanya dibandrol harga Rp 15.000,-, sangat murah untuk kelas lokasi wisata dan hotel.
Pukul 02.30 kami bersiap melawan cuaca dingin yang benar-benar menusuk dan menembus apapun yang kami gunakan. Yaa,petualangan Bromo Midnight segera dimulai. Dengan mengendarai Jeep yang memang disewa untuk menuju Bromo kami pun beranjak dari hotel tempat kami beristirahat sebelumnya. Sayangnya karena ada sedikit misskomunikasi di awal dengan pemilik Jeep akhirnya mau tak mau kami pun harus menerima kenyataan bahwa tempat yang akan kami kunjungi untuk menikmati sunrise yang katanya terbaik di Indonesia ini melalui penanjakan 3, bukan penanjakan 1 seperti yang kami harapkan.
Perjalanan menuju penanjakan ternyata tak se-seram yang selama ini saya bayangkan. Karena duduk di kursi depan samping supir membuat saya sangat menikmati perjalanan ini. Jalur aspal dengan pemandangan samping kanan tebing curam dan samping kiri jurang yang diikuti dengan jalur semi offroad belum lagi dengan bonus untuk banyak bertanya dan bercerita bersama pengendara Jeep yang memang asli Suku Tengger membuat perjalanan ini semakin menyenangkan. Banyak pelajaran berharga sepanjang perjalanan, bagaimana saya dapat mengetahui apapun mengenai masyarakat Tengger dan gaya hidupnya, tentang asal sejarah adanya Gunung Bromo hingga cerita rakyat yang selama ini beredar langsung dari sumbernya. Ini yang saya suka dari setiap perjalanan yang saya lakukan, banyak hal baru, banyak cerita baru, banyak ilmu baru dan banyak orang-orang baru yang saya temui.
Setelah sampai di penanjakan 3, saya baru tersadar.. lagi-lagi tak membawa alat penerangan karena akses jalan menuju penanjakan 3 benar-benar gelap gulita dan kami harus berjalan kaki menaiki jalan setapak di atas bukit dari parkiran tempat Jeep kami berhenti tadi. Sambil berjalan kami sambil mengira-ngira apakah masih jauh atau sudah dekat tempat kami bisa menikmati sunrise nanti, setelah berjalan cukup jauh dari parkiran terlihat banyak ojeg yang menawarkan jasanya dengan tarif Rp 10.000 - Rp 20.000,- . Hanya saja saya sarankan tidak perlu naik ojeg ini karena jarak antara tempat mereka mulai berkumpul dengan penanjakan 3 yang akan kami tuju dan medan trackingnya juga tidak berat. Begitu sampai kami tak dapat melihat apapun karena langit masih gelap. Setelah beberapa lama matahari mulai menampakkan sinarnya, bias-bias keemasannya mulai mewarnai pagi kami. Agak berkabut pagi itu, ahh tapi tetap saja indah...





Puas menikmati sunrise, kami menuju puncak Bromo. Sebelum kesana, singgah sebentar ke Bukit Savana yang juga dikenal sebagai Bukit Telettubies. Yaa bukit Telettubies karena hampir menyerupai tempat tinggal di acara Telettubies yang terkenal pada masanya. Disini kami dimanjakan dengan pemandangan hamparan rumput dan bukit yang hijau dan segar.

Matahari mulai meninggi, segera kami melanjutkan perjalanan ke Puncak Bromo. Begitu sampai anda bisa mengisi perut kosong anda disini karena ada banyak penjual makanan yang menjajalan dagangannya disini. Setelah kenyang melahap semangkok bakso malang yang hangat tapi membuat lidah kelu karena cuaca yang dingin. Mulailah kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Dari parkiran Jeep, saya sengaja berjalan kaki jarak yang bisa mencapai 1-2 km dengan medan yang menanjak curam di akhir bukan masalah besar bagi saya, alasan yang pertama karena saya takut naik kuda dan alasan kedua sekedar melampiaskan hasrat saya untuk berjalan di padang pasir karena perjalanan kali ini membuat saya tidak bisa mengunjungi pasir berbisik. Yaaa anggap saja ini sedang berjalan disana..hhaa
Perjalanan belum berhenti, masih ada sekitar 250 anak tangga yang menanti, naiknya pun harus sabar karena mengantri. Tak apa demi melihat keindahan dunia, alam Indonesia yang membahana... (eeaaa)
Disela-sela menaiki tangga, saya melihat ke sekeliling, masya allah.. luar biasa ciptaan Allah, indah, benar-benar indah.. entah dari ketinggian berapa saya baru merasa.. selama ini saya benar-benar kecil di mata Tuhan.
Sampai di puncak kawah gunung bromo ada perasaan yang luar biasa senang, berkali-kali mengucapkan syukur alhamdulillah karena bisa sampai ke tempat ini, yaa Bromo adalah destinasi wisata saya sudah sejak bertahun-tahun yang lalu. Saat saya berada disana, rupanya di sekeliling kawah sudah diberi pagar pengaman, syukurlah semua bisa lebih aman. Dari sini terdengar gemuruh lahar dari dasar kawah, saya takjub seketika.. saya memang pernah melihat kawah-kawah di gunung yang lain tapi disini.. benar-benar terasa sangat dekat, saya sedang berada di sampingnya, di gunung yang bisa saja sewaktu-waktu melontarkan materialnya apalagi saat itu statusnya memang sedang waspada. Maha Besar Allah... sungguh, mana ada negeri seindah negeriku.


Rabu, 11 November 2015

Negeri Di Atas Awan

Desa Sembungan, Dieng, Wonosobo menjadi destinasi saya akhir pekan ini. Berawal dari rencana yang tertunda setahun lalu untuk mengunjungi tempat ini, tempat yang konon katanya memiliki sunrise paling indah di Asia. Sikunir, bukanlah gunung hanya sebuah bukit yang terletak di desa tertinggi di Jawa Tengah.
Saya dan 3 orang teman lainnya memulai perjalanan tepat pukul 23.00 dari Purwokerto, tujuan kami tentu saja berburu sunrise tanpa perlu camping disana. Berhubung tengah malam jalanan sudah sepi sehingga membuat perjalanan kami sangat santai dan lancar, Begitu sampai di Kota Wonosobo kami dikecohkan dengan petunjuk jalan yang menyatakan bahwa jalan utama menuju Dieng ditutup karena ada tanah longsor, mau tidak mau kami harus menempuh jalan alternatif yang belum pernah kami lewati sebelumnya. Setelah sempat berputar-putar mengikuti petunjuk arah yang jujur saja membingungkan, akhirnya kami bergantung pada GPS apalagi pagi-pagi buta di jalan tidak ada satupun orang yang terlihat dan bisa dimintai informasi. Cukup lama mencari jalan menuju dieng, sampailah kami di sebuah gardu loket masuk ke kawasan dieng, saat itu hanya ada satu kata yang terlintas "alhamdulillah" akhirnya bisa sampai ke tempat tujuan yang sudah mulai kami kenali.

Pukul 02.00 sampai di Dieng, Wonososbo

Dari loket pertama kami masih harus melanjutkan perjalanan dengan medan yang berkelok-kelok, menanjak dan banyak lubang disana-sini disertai fasilitas penerangan yang minim. Memasuki lahan parkir Sikunir, sudah terlihat beberapa mobil dan tenda-tenda berdiri mengelilingi danau yang ada di samping parkiran. Waktu menunjukkan pukul 02.30 dan menurut pedagang setempat kami sampai terlalu cepat. Dinginnya desa sembungan benar-benar diluar dugaan, belum pernah saya datang ke tempat sedingin ini. Syukurlah ada pedagang asongan disekitar tempat parkir yang mengijinkan kami menghangatkan badan dengan bara api yang sengaja dinyalakannya untuk kami.
Menghangatkan badan di tengah dingin yang menusuk

Pukul 03.15 setelah merasa cukup hangat mulailah kami berjalan, mendaki bukit sikunir dengan tangan kosong karena sialnya tak ada satupun dari kami yang membawa senter atau alat penerangan lainnya (sangat tidak disarankan melakukan ini). Lagi-lagi kami merasa beruntung karena di tengah pendakian kami bertemu dengan sekelompok orang yang sedang melakukan open trip dan pemandunya dengan sukarela ikut memandu dan menolong kami untuk sampai ke puncak berhubung kami juga baru pertama kali mendatangi tempat ini. Hal seperti inilah yang saya suka dari setiap perjalanan.. bertemu orang baru, bersosialisasi dan saling membantu.


Sepanjang pengalaman traveling saya, saya akui.. akses menuju puncak sikunir ini adalah tahapan yang paling berat karena sebelumnya saya tidak pernah mendaki gunung atau bukit seperti ini. Tengah malam dengan menahan kantuk harus mendaki tanah terjal, becek dan licin, belum lagi jalan setapak yang berbatas langsung dengan jurang dimana semua itu tidak dapat terlihat jelas karena tidak ada penerangan selain cahaya senter. Setelah hampir 1 jam menguji ketahanan fisik dan mental akhirnya sampailah kami di puncak sikunir. Dengan pemandangan gelap gulita kami hanya bisa berkumpul, bercerita dan bercanda bersama untuk menghilangkan rasa kantuk, lelah dan dingin yang semakin menusuk. Di pertengahan subuh, mulai terlihat samar-samar cahaya memancar dari peraduannya. Semakin lama semakin jelas terlihat dan masya allah... begitu indah dan luar biasa ciptaan Tuhan. Semakin jelas terlihat seberkas cahaya kuning keemasan muncul di balik gunung sindoro sumbing yang menjadi pemandangan kami dari puncak sikunir. Inilah alasannya mengapa tempat ini dinamakan sikunir, karena dari sini dapat terlihat matahari terbit dengan cahaya kuning keemasan seperti tanaman kunir atau kunyit.
Masya allah, Maha besar Allah... mana ada negeri seindah negeriku.





Rabu, 09 September 2015

Jogja, masih istimewa ..

Postingan pertama setelah bertahun-tahun ini, diawali dengan trip terbaru saya.
Gag jauh seh,cuma ke Jogja aja. Udah gag terhitung lagi berapa kali melangkahkan kaki ke kota gudeg ini, gag pernah ada bosennya. Paling suka sama suasananya, bisa dibilang ini adalah kota ketiga yang pengen aku tinggalin setelah Bandung dan Purwokerto tentunyaaa...

Siang itu, karena hari sabtu tetep harus berangkat kerja setengah hari akhirnya baru bisa meninggalkan kota mendoan di atas jam 12, yaa beginilah nasib manusia yang cuma bisa merasakan weekend hari minggu aja. Trip kali ini sengaja ngajak tiga adik sepupu yang super ababil dan bawel (maklum masih SMA & Mahasiswa), entah kenapa tiba2 pengen jalan tapi gag pengen sendirian akhirnya dihasutlah mereka oleh saya, jadi modusnya aku mau jadi guide liburan mereka padahal seh mereka yang bakalan nemenin aku..haa
Ceritanya kita transit di Kebumen dulu satu malam karena bakal ngelanjutin perjalanan ke Jogja hari minggu, alesan singkatnya karena pengen naik kereta tapi tiket paling murah Purwokerto-Jogja Rp 80.000,- (MAHAL). Berhubung gag ada yang nganter ke terminal jadilah kami naik angkot (pertama kalinya setelah terakhir entah jaman kapan). Angkot warna kuning jurusan Baturaden-Terminal cukup bayar Rp 5.000/orang, standar lah kalo diliat dari jarak yang ditempuh. Sampai terminal kita milih naik Bus Mandala yang kalo gag salah bis jurusan Purwokerto-Surabaya dan luar biasa kaget, ini bis Ekonomi-AC dengan fasilitas yang oke banget buat tarif hanya Rp 20.000 Purwokerto-Kebumen (Recomended).
Sampai di Kebumen, biasalah menikmati malam di alun-alun kota tanpa keluar biaya, secara yaaa.. ke Kebumen transit di rumah tante sendiri jadi apa-apa udah ditanggung, hemat kan...
Minggu subuh semua bangun dengan keadaan panik, KA Prameks yang mau kita tumpangin buat ke Jogja ternyata udah gag buka trayek dari Stasiun Prembun, eng ing eng... bingunglah semua karena jadwal keberangkatan dari Stasiun Kutoarjo sebagai stasiun terdekat dari Kebumen cuma jam 6 dan jam 9 aja. Akhirnya sii Om mengeluarkan jurus mautnya, Kebumen-Kutoarjo 30 menit, gimana caranya? ngebut di jalan! Beruntung sampai Stasiun Kutoarjo 10 menit sebelum kereta berangkat, tiketnya cuma Rp 8.000 (10x lipat dari harga KA. Logawa).
Tepat jam 07.27 sampailah kami di Jogja, turun di Stasiun Tugu dan tentunya lokasi pertama yang dikunjungi apalagi kalo bukan Malioboro!. Mungkin karena weekend jadi masih pagi udah mulai rame pengunjung dan ada beberapa kios yang mulai buka, pertama masuk kawasan Malioboro disajikan pemandangan barisan kelompok sepeda onthel dengan seragam lurik khas jogja, bener-bener istimewa..
Cuaca masih seger, cerah ceria.. karena lapar akhirnya duduk di Bangku 0 KM buat menikmati sate ayam dan gulali yang dijual disekitar sini. Sate ayam Rp 10.000/porsi isinya ada 10 tusuk ditambah ketupat, ciri khasnya ada satu tusuk yang ditambah telur puyuh. Gulali yang dijual disini sama kayak gulali jaman SD dulu, cuma harganya lebih mahal, Rp 5.000/buah. Tapi yaa emang dasar bolang solehah, alhamdulillah ada aja rejekinya, dapet bonus dari si ibu penjual sate dan gulalinya Rp 10.000 dapet 3 biji. Selama makan dapet pemandangan lagi, ditemenin pengamen jalanan, bukan cuma pengamen yang nyanyi & main gitar tapi juga pengamen yang nunjukin atraksi sulap dan langsung berinteraksi sama kita.
Selesai sarapan masuklah kita ke Musem Benteng Vredeburg, pengunjung dewasa cuma only Rp 2.000,- harga yang sangat tidak sebanding dengan nilai sejarahnya. Kalau dengan tarif yang segini murahnya pengunjung Museum masih aja sedikit, sungguh terlalu penduduk negeri ini karena bagaimanapun juga sejarah perlu dikenang. Disini kita bisa liat benteng jaman kolonial belanda yang masih berasa banget klasiknya, dan saya selalu suka sama Diorama yang ada di 4 ruangan terpisah. Buat kalian yang hobi fotografi, disini banyak spot yang sayang kalau dilewatkan, percayalah!


















Walaupun ini kota wisata yang biasa dikunjungin, tapi aku tetep gag mau kehilangan jiwa traveling, akhirnya setelah puas menikmati sejarah mulai berjalanlah kami ke Masjid bawah tanah di Komplek Taman Sari. Jam 11 siang jalan kaki, kebayang dong panasnya, kalo aku seh gag ngerasa capek malah seneng banget bisa liat kehidupan Jogja lebih dekat tp sesekali sambil nengok ke belakang juga, khawatir 3 cewe ababil yang langkahnya mulai lambat pingsan di tengah jalan (dijamin mereka gag akan pernah lupa kejadian ini *ketawajahat*). Berkat nanya ke ibu2 pemilik warung kelontong dan adek kecil yang lagi main di pinggir jalan sampai lah kami di Masjid Bawah Tanah dengan GRATIS, kenapa? karena berkat mereka yang kami temui di jalan lah kita dapet akses jalan tembus buat ke lokasi ini, alhamdulillah rejeki bolang solehah lagi..hhaa
Begitu masuk kawasan masih seneng karena baru ada 10-15 orang yang ada di tempat itu tapi 10 menit kemudian, subhanallah, banyak banget berjubel-jubel sampe mau foto aja harus antri dan gag pernah dapet angle yang pas. Cuaca yang semakin panas, udara yang semakin pengap dan pengunjung yang semakin banyak akhirnya membuat kita menyerah dan meninggalkan tempat ini. 
                                                                                    
Menuju lokasi berikutnya karena gag tega liat 3 cewe ababil yang kecapean akhirnya kita naik becak, karena ini memang kawasan wisata khusus hanya untuk kendaraan pribadi dan becak. Setelah melewati beberapa abang becak dan dengan negosiasi yang panjang akhirnya dapatlah kita tarif 25rb untuk 2 becak sampai ke shelter Taman Pintar, karena tujuan kita adalah ke De Mata Trick Eye Museum. Dari shelter Taman Pintar cukup 1 kali naik Transjogja 3A dengan tarif Rp 3.300, sampai di shelter tinggal nyebrang jalan dan sampailah kita di XT Square dimana tempat ini dulunya adalah bekas terminal jadi arti dari XT itu adalah "Eks Terminal".
Sampai di XT Square, kita istirahat dulu di Mushola buat sekedar sholat, leyeh-leyeh dan mengisi perut yang lapar. Setelah selesai barulah kita masuk ke De Mata, tiketnya Rp 40.000,- (oke lebih mahal dari tarif bulan-bulan sebelumnya yang berkisar Rp 30.000-Rp 35.000). untuk yang mau beli tiket terusan De Mata & De Arca tiket yang dibandrol Rp 70.000,-.
Konon katanya, De Mata ini adalah Museum Trick Eye terbesar di Asia karena memajang 125 koleksi gambar yang selalu diganti rutin tiap bulan. Waktu pertama masuk cuma bisa ketawa sendiri, karena baru pertama kali dan baru tahu kalau ada beberapa gambar yang fotonya harus naik tangga. Buat saya yang gag begitu aktif di depan kamera, bergaya disini memang agak susah karena butuh ekspresi yang oke, imajinasi yang kreatif dan Ke-PD-an tingkat tinggi terutama kalau datang pas siang hari, kenapa? karena banyak yang antri mau foto dan sebelumnya memperhatikan dulu gimana gaya kita, tapi over all, tempat ini bagus juga dan terima kasih sudah jadi salah satu bagian tempat wisata di Jogja.
 

 

Keasikan foto-foto akhirnya gag terasa udah jam 4, padahal masih ada 1 lokasi yang mau dikunjungi. Berhubung tempatnya agak jauh dan kita masih harus kembali ke Purwokerto akhirnya rencana terakhir terpaksa cancel, maybe next time yaaa...
Perjalan pulang akhirnya menuju Terminal Giwangan, masih naik transjogja langsung dari XT Square. Sampai di Giwangan yang pertama di cari adalah toilet, akhirnya kita dapet toilet yang ada tempat sholat juga, setelah selesai barulah babak menyebalkan dimulai. Tiba-tiba ada preman terminal yang mendekat dan nanya mau kemana, udah dijawab dan udah menunjukkan sikap kalau kita udah tau arah jalan ke pangkalan Bis, orang ini masih aja jalan di depan kita seolah-olah lagi nunjukkin arah. Sebelum masuk ada retribusi Rp 500/orang (di Purwokerto gag begini). Karena semakin merasa gag nyaman dengan preman yang masih aja ngikutin akhirnya ganti haluan yang semula rencana naik Bis Efisiensi langsung naik Bis lain jurusan Purwokerto yang kebetulan udah siap berangkat. Aku pikir premannya langsung pergi ehh gag taunya dia ikut masuk ke dalem Bis yang udah mulai jalan dan minta uang tip Rp 10.000, demi keamanan akhirnya dikasih lah dia uang yang diminta itu. Dan masih rejeki bolang solehah, bis yang kita naikin Ekonomi-AC dengan tarif yang lebih murah dari yang direncanakan, Bis Sumber Group Rp 55.000, kenetnya ramah dan enak diajak ngobrol.
Yang luar biasa dari trip kali ini adalah, pengalaman pertama kalinya diikutin preman terminal!
Yogyakarta buat aku adalah kota yang besar dan istimewa, hanya saja kejadian di terminal ini yang paling mengecewakan sepanjang sejarah perjalananku ke Jogja, biaya retribusi memang cuma hitungan perak, tapi sebagai kota besar samgat disayangkan sekali kalau terminal terbesarnya gag bisa memberikan pelayanan, keamanan dan fasilitas yang baik, sungguh... terminal Purwokerto jauh lebih baik dari Giwangan.










Kamis, 27 Agustus 2015

hi world!

postingan pertama saya setelah bertahun-tahun blog ini dipenuhi sarang laba-laba

Tahun demi tahun masih dilewati dengan habitat yang sama, lingkungan yang sama, orang-orang yang sama dan kegiatan yang sama.
Hanya satu yang berubah, semangat traveling semakin membara dalam jiwa (eeaa)
setelah ini inshaa allah akan kembali aktif menulis,
Selamat menikmati indahnya Indonesia!