Desa Sembungan, Dieng, Wonosobo menjadi destinasi saya akhir pekan ini. Berawal dari rencana yang tertunda setahun lalu untuk mengunjungi tempat ini, tempat yang konon katanya memiliki sunrise paling indah di Asia. Sikunir, bukanlah gunung hanya sebuah bukit yang terletak di desa tertinggi di Jawa Tengah.
Saya dan 3 orang teman lainnya memulai perjalanan tepat pukul 23.00 dari Purwokerto, tujuan kami tentu saja berburu sunrise tanpa perlu camping disana. Berhubung tengah malam jalanan sudah sepi sehingga membuat perjalanan kami sangat santai dan lancar, Begitu sampai di Kota Wonosobo kami dikecohkan dengan petunjuk jalan yang menyatakan bahwa jalan utama menuju Dieng ditutup karena ada tanah longsor, mau tidak mau kami harus menempuh jalan alternatif yang belum pernah kami lewati sebelumnya. Setelah sempat berputar-putar mengikuti petunjuk arah yang jujur saja membingungkan, akhirnya kami bergantung pada GPS apalagi pagi-pagi buta di jalan tidak ada satupun orang yang terlihat dan bisa dimintai informasi. Cukup lama mencari jalan menuju dieng, sampailah kami di sebuah gardu loket masuk ke kawasan dieng, saat itu hanya ada satu kata yang terlintas "alhamdulillah" akhirnya bisa sampai ke tempat tujuan yang sudah mulai kami kenali.
Pukul 02.00 sampai di Dieng, Wonososbo
Dari loket pertama kami masih harus melanjutkan perjalanan dengan medan yang berkelok-kelok, menanjak dan banyak lubang disana-sini disertai fasilitas penerangan yang minim. Memasuki lahan parkir Sikunir, sudah terlihat beberapa mobil dan tenda-tenda berdiri mengelilingi danau yang ada di samping parkiran. Waktu menunjukkan pukul 02.30 dan menurut pedagang setempat kami sampai terlalu cepat. Dinginnya desa sembungan benar-benar diluar dugaan, belum pernah saya datang ke tempat sedingin ini. Syukurlah ada pedagang asongan disekitar tempat parkir yang mengijinkan kami menghangatkan badan dengan bara api yang sengaja dinyalakannya untuk kami.
Menghangatkan badan di tengah dingin yang menusuk
Pukul 03.15 setelah merasa cukup hangat mulailah kami berjalan, mendaki bukit sikunir dengan tangan kosong karena sialnya tak ada satupun dari kami yang membawa senter atau alat penerangan lainnya (sangat tidak disarankan melakukan ini). Lagi-lagi kami merasa beruntung karena di tengah pendakian kami bertemu dengan sekelompok orang yang sedang melakukan open trip dan pemandunya dengan sukarela ikut memandu dan menolong kami untuk sampai ke puncak berhubung kami juga baru pertama kali mendatangi tempat ini. Hal seperti inilah yang saya suka dari setiap perjalanan.. bertemu orang baru, bersosialisasi dan saling membantu.
Sepanjang pengalaman traveling saya, saya akui.. akses menuju puncak sikunir ini adalah tahapan yang paling berat karena sebelumnya saya tidak pernah mendaki gunung atau bukit seperti ini. Tengah malam dengan menahan kantuk harus mendaki tanah terjal, becek dan licin, belum lagi jalan setapak yang berbatas langsung dengan jurang dimana semua itu tidak dapat terlihat jelas karena tidak ada penerangan selain cahaya senter. Setelah hampir 1 jam menguji ketahanan fisik dan mental akhirnya sampailah kami di puncak sikunir. Dengan pemandangan gelap gulita kami hanya bisa berkumpul, bercerita dan bercanda bersama untuk menghilangkan rasa kantuk, lelah dan dingin yang semakin menusuk. Di pertengahan subuh, mulai terlihat samar-samar cahaya memancar dari peraduannya. Semakin lama semakin jelas terlihat dan masya allah... begitu indah dan luar biasa ciptaan Tuhan. Semakin jelas terlihat seberkas cahaya kuning keemasan muncul di balik gunung sindoro sumbing yang menjadi pemandangan kami dari puncak sikunir. Inilah alasannya mengapa tempat ini dinamakan sikunir, karena dari sini dapat terlihat matahari terbit dengan cahaya kuning keemasan seperti tanaman kunir atau kunyit.
Masya allah, Maha besar Allah... mana ada negeri seindah negeriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar